Terkait Gagal Ginjal Akut, BPKN RI: Hak Konsumen Indonesia Harus Tetap Dijaga dan Ditegakkan

$rows[judul]



Keterangan Gambar : Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional RI Periode 2020-2023, Dr. Ermanto Fahamsyah, S.H., M.H. (infobanyuwangi.co.id).

Infobanyuwangi.co.id- Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI, Dr. Ermanto Fahamsyah, S.H., M.H menyebut, beberapa waktu lalu muncul fakta hukum terkait dengan hukum perlindungan konsumen.

Fakta hukum tersebut terus berkembang sampai saat ini, terkait gagal ginjal akut (atipikal) pada anak. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per 31 Oktober 2022 lalu, ditemukan sebanyak 304 kasus anak yang mengalami gagal ginjal akut, dengan jumlah kematian pada saat itu mencapai 159 anak.



Baca Juga : Tim Pengabdian Poliwangi Kembangkan Sistem Administrasi Digital untuk Desa Tambong

"Meskipun obat sirup yang diduga menjadi penyebab gagal ginjal akut telah ditarik dari peredaran, namun kasus ini masih terus bertambah," kata Ermanto.


Dia menjelaskan, berdasarkan perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), fakta hukum di atas dapat dikaitkan langsung dengan beberapa ketentuan dalam UUPK dimaksud.


"Pasal 4 huruf a menyatakan 'hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa'," cetusnya.


Selanjutnya, jelas Ermanto, pada Pasal 8 ayat 3 berbunyi 'pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar'.


Dalam perspektif Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dapat dikaitkan dengan Pasal 196. Dalam pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan.


Kemudian tidak memenuhi khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1 miliar rupiah.


"Apabila para pihak, khususnya pelaku usaha, yang terbukti bersalah melanggar ketentuan-ketentuan di atas terkait produksi, peredaran dan perdagangan obat sirup yang mengakibatkan gagal ginjal akut seharusnya dilakukan penindakan hukum secara tegas," ucap Ermanto.


Dia menambahkan, Atas fakta hukum di atas, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Badan Perlindungan Konsumen Nasional RI, pemerintah perlu melakukan evaluasi dan audit secara menyeluruh atas proses penerbitan izin edar obat dari mulai pra-register, register, pendistribusian, hingga penggunaan di masyarakat (post-market). 


Pemerintah juga perlu melakukan audit secara komprehensif dari hulu ke hilir dalam proses sediaan farmasi di Indonesia, termasuk dari industri bahan baku farmasi. 


Khusus BPOM harus melakukan pengawasan atas peredaran obat di Indonesia. Oleh karenanya, Pemerintah dan BPOM khususnya apabila nyata-nyata terbukti lalai sehingga menyebabkan terjadinya fakta hukum di atas seharusnya juga harus bertanggung jawab. 


"Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya fakta hukum serupa pada kemudian hari. Mengingat Hak Konsumen Indonesia harus tetap dijaga dan ditegakkan sampai kapanpun," pungkasnya.